Jumat, 22 Agustus 2008

Pengantar Edisi 7/2008

Ngobrolin TV yuk. Apa yang ada di benak kita kalo bicara tentang televisi? Langsung deh kita mengingat sekian banyak judul sinetron. Ya kan? Sebenernya nonton TV gak salah kok coz dengan begitu kita jadi tahu apa yang tengah terjadi di dunia. Banyak acara yang memberikan info dan pengetahuan dan gak hanya membuai khayalan kita. Tinggal pinter-pinter aja kita milihnya. Tetapi gak bisa dipungkiri beberapa (banyak?!) acara TV kita yang memang mengundang sorotan dari pihak-pihak yang merasa peduli dengan perkembangan acara TV, semakin kesini kok semakin....So, gimana dunk biar keberadaan TV gak merugikan, kan kita pasti ketemu TV dari mulai bangun tidur sampe mo tidur lagi?Apalagi budaya nonton TV sepertinya juga menggeser budaya baca. Ya atau ya? Lets read.


Tahukah kau, kita diatur oleh TV?
(Jim Morisson)

Jika tiap orang meminta kedamaian bukannya televisi, maka kedamaian akan terwujud.
(John Lennon)

Label:

Sorot Edisi 7/2008 - TV dan Pembentukan Kepribadian

Sebagai media hiburan dan komunikasi, kehadiran TV agaknya disambut antusias oleh masyarakat Indonesia bahkan dunia. Gak terkecuali, generasi penerus bangsa juga ikut larut dalam “alam maya” (film dan laen-laen) yang seringkali disuguhkan sebagai acara TV seperti sinetron, kartun, dan sebagainya. Suguhan acara yang begitu banyak, bikin semua orang -gak terbatas umur anak anak, orang dewasa maupun orang tua,- masih nyempatin diri nonton TV.

But kemudian, yang jadi permasalahan di sini adalah ketika acara TV telah ikut andil dalam membangun sifat, sikap, karakter, dan pola hidup masyarakat Indonesia khususnya generasi muda kita, apa yang kudu dilakukan sekarang? Ironisnya sekarang ini sebagian besar dari acara TV sarat mengandung kekerasan, pola hidup hura-hura, dan yang sedang hangat-hangatnya adalah pornografi dan pornoaksi.

Misal nih, mengenai acara goyang bersama yang sering banget disajikan secara live di TV, acara film yang termasuk kategori +17 th or film yang penuh dengan adegan-adegan gak senonoh seperti; cium-ciuman, berpelukan, yang seringkali dikatakan ‘hot’ (panas; membuat timbul gairah nafsu). Ngeliat kenyataan yang kayak gini tentunya adalah kewajiban bersama buat melindungi diri generasi penerus bangsa ini dari dekadensi moral dan kecenderungan kepada hedonisme (waduw, bahasanya kok susah, mbak, mas...).
Kehebatan TV dalam menyerap “penggemarnya” pernah diteliti oleh seorang ilmuwan Amerika dan Kanada. Hasilnya? Mencengangkan, teman-teman. Menurut mereka dampak dari terlalu sering menonton TV banyakan negatifnya ketimbang positifnya. Buktinya nih:
1. Bahwa informasi/program yang tersaji melalui media visual, kurang lebih sebanyak tujuh puluh persen berdampak negatif bagi generasi bangsa. Tujuh puluh persen, bayangin deh. Ini berarti mayoritas acara TV gak layak ditonton masyarakat. Tetapi ini bukan berarti sebuah usaha menyamaratakan bahwa seluruh acara TV itu gak layak tonton, Tidak! Tetapi ini sebagai peringatan aja kok bagi para pembuat film agar lebih berhati-hati dan bijaksana.
2. Dalam uji coba terhadap beberapa anak usia remaja, disimpulkan bahwa rata-rata waktu yang digunakan seorang anak untuk nonton TV adalah tiga puluh satu jam per minggu atau sekitar empat jam per hari. Artinya, TV gak lagi sebagai media hiburan, tapi cenderung dah jadi bagian hidup yang gak bisa dipisahin. Beberapa ahli mengistilahkannya dengan “kecanduan TV”.
3. Diketahui bahwa anak yang terlalu asyik nonton TV akan kurang dapat bergaul dengan baik dalam masyarakat. Dan kecenderungan dari mereka adalah meniru karakter-karakter yang cenderung “TIDAK BAIK” dari para pemain di acara TV. Misal saja tentang adegan kekerasan, penipuan, dan bahkan pembunuhan. Pernah kejadian, fakta nih ya, di sebuah daerah di Jawa Tengah (sengaja tidak disebutkan secara detail), di mana seorang bocah tega mengakhiri hidupnya dengan gantung diri karena sering dimarahi orang tuanya. Bagi masyarakat umum tentunya ini kan sebuah kejanggalan. Mengapa seorang bocah kecil kok punya inisiatif mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Pertanyaannya kemudian, dari mana coba, ia belajar cara bunuh diri tersebut. Apakah keluarga yang mengajari, atau masyarakat, atau malah dari film yang disajikan dalam TV?
4. Anak yang suka nonton TV akan kurang senang untuk membaca, coz pada dasarnya ketika menonton TV si anak kurang begitu mengfungsikan otak. Ia cenderung memakai indra penglihatnya (ya iyalah mas, mbak, masa nonton TV merem seh? Ssstt.. kamu lho yang bilang..)

Dari beberapa bukti di atas, seharusnya kita sebagai bagian dari masyarakat Indonesia mempunyai kewajiban untuk memproteksi diri dan orang lain terhadap acara-acara yang disajikan TV. Maka kalo kita masih menerima kehadiran TV dalam kehidupan kita sebagai media hiburan, kita harus pandai-pandai menjaga diri dan menyaring setiap program yang disiarkan darinya. Ada beberapa usaha yang bisa dilakuin sbb:
1. Jelas, ngurangin nonton TV.
2. Memilih saluran TV yang nyajiin program bagi seluruh umur.
3. Mengambil hikmah yang terkandung dalam setiap acara TV.
4. Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya untuk orang tua harus selalu menciptakan perilaku diri sesuai norma-norma yang berlaku agar nantinya bisa dijadikan teladan buat sang anak.
5. Belajar berfikir seobyektif mungkin, and jangan suka berkhayal.
6. Sebagai manusia beragama, tentunya lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan lebih serius lagi dalam belajar ilmu agama. Karena dengan ilmu agama, manusia dapat terbimbing and mampu memisahkan antara al Haq dengan al Bathil (jawa: wewaler).
Menurut Samsul Munir Amin, diakui atau gak, semenjak berkembangnya peranan media elektronik dan informasi, dunia semakin menjadi kosmopolitan dan manusia saling mempengaruhi dalam berbagai hal perilaku. Dan media informasi seperti TV seringkali menjadi media jitu untuk usaha nyebarin pengaruh tersebut (serius ya..). Makanya dalam menyikapi adanya realita ini, dibutuhkan kecerdikan, pemikiran, dan pemahaman yang luas, gak kolot, and sesuai dengan tuntutan zaman.

Bila ditinjau melalui konteks dakwah agama, sebenernya TV bisa dijadiin sebagai media efektif dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Sebab pesan-pesan yang disampaiin gak hanya diterima oleh masyarakat-masyarakat tertentu saja, melainkan dalam skala lebih besar yaitu seluruh negara atau bahkan dunia, bisa nerima pesan-pesan tersebut. Hanya sekarang permasalahannya adalah gimana respon dan kebijaksanaan dari produser film itu sendiri. Tetapi semoga mereka bisa mengerti.***

(M. Zaairul Haq, penulis buku Keajaiban Cinta, dalam waktu dekat akan meluncurkan bukunya yang terbaru, Syair Tombo Ati)




TEMA EDISI DEPAN:

Handphone, gaya hidup atau kebutuhan?


Hampir semua orang punya atau paling gak bisa mengoperasikan handphone. Terus, apa masalahnya? Nah, handphone kayaknya sudah bukan soal kebutuhan, tapi tentang life-style, trend, and gaya-gayaan. Ayo donk tulis isi hati kalian tentang fenomena ini. Kirim, dan tunggu namamu muncul di Prasasti. Ciao.

Label: